Jumat, 24 April 2015

FLASHBACK Chapter 1

     “Alhamdulillah, semua pekerjaan rumah hari ini beres” leguhku sambil mengusap keringat yang menetes membasahi pelipisku. Melelahkan padahal tidak terlalu banyak pekerjaan yang aku lakukan hari ini. Mungkin efek bawaan si kecil. Semenjak hamil aku tak cukup mampu mengerjakan pekerjaan rumah sekaligus.
Ku dudukkan tubuhku di kursi ruang tamu yang menghadap tepat ke kaca jendela yang menghubungkannya dengan teras depan sambil menyesap teh hangat dan cemilan yang telah aku sediakan sebelumnya sembari menunggu seseorang yang aku nantikan kepulangannya sore ini. Kuusap perutku yang semakin membesar. Rasanya tak sabar menantikannya hadir ke dunia. Seolah merespon kurasakan tendangan dari perutku kuusap gerakan cepat yang membuat beberapa sisi perutku menonjol sampai tonjolan itu tak nampak lagi, tapi aku masih bisa merasakan gerakannya. Menyenangkan rasanya dapat merasakan gerakannya yang lincah didalam perutku.

“Bunda sedang menunggu ayah datang ? ” suara serak Amira putri pertamaku yang baru bangun tidur. Aku segera menoleh cepat mencari sumber suara itu.

“Sayang sudah bangun. Sini duduk disebelah Bunda.”
Dengan gesit Amira melompat naik dan duduk di kursi sebelahku. Dan dengan cepat tangan mungilnya ikut mengelus perutku.

“Adik ayo cepat kelual bial bisa main sama kakak.” celotehnya dengan bahasa cadel khasnya. Amira baru berumur 4 tahun. Aku tersenyum mendengar celotehnya sore ini.

Deru suara motor yang sudah sangat aku hafal memenuhi gendang telingaku. Dia pulang.
“Ayah pulang.” Seru Amira. Ia segera melompat turun dari kursi dan berlari menuju sumber suara itu.
“Hati-hati sayang nanti jatuh.” seruku memperingatkan.
Aku memperhatikan mereka dari balik kaca jendela. Setelah memasukkan motor kedalam bagasi Dia menggendong Amira dan mendengar celotehannya dengan senyum mengembang. Bahagia sekali rasanya melihat hal itu. Melihat senyumannya dan Amira dua orang yang sangat aku sayangi dan akan bertambah satu lagi yang ada di dalam perut ini.

“Assalamualaikum.” serunya dan Amira bersamaan saat memasuki pintu depan rumah kami.
“Wa alaikumsalam.” seruku dengan susah payah berusaha berdiri dari kursi. Dia memperhatikan aku dan menurunkan Amira dari gendongannya. Dengan gerakan cepat Dia menghampiriku berusaha untuk membantuku berdiri.
“Aku bisa sendiri kok.” tukasku
“Dasar keras kepala.” ucapnya sambil tersenyum
Dia memperhatikan aku sampai akhirnya aku mampu berdiri tegak.
“Berat ya ?” tanyanya.
“hah ? apa ?” tanyaku tak mengerti.
“ini.” ucapnya sambil mengelus perutku.
“Setidaknya tidak seberat kamu.” jawabku ketus. Dia tertawa sembari mengusap pucuk kepalaku.
“Memangnya jika aku mengatakan ini berat, kamu bisa menggantikannya ?” sambungku.
“Jika memang bisa akan aku gantikan.” ujarnya sambil tersenyum tulus.
“Dasar.” ujarku berseloroh sambil tertawa. Dia mengacak rambutku singkat.
Aku memegang tangannya dan menciumnya.
“Selamat datang dirumah Ayah.” ucapku tulus. Dia tersenyum menatapku penuh arti sebelum akhirnya masuk kedalam rumah yang diikuti oleh Amira dan aku.
“Ayah, dari tadi Bunda nunggu ayah di luang tamu.” ucap Amira polos.
“Benarkah ? mungkin Bunda rindu dengan Ayah.” ujarnya sambil tertawa renyah.
Wajahku seketika memanas. Mungkin sudah semerah tomat. Soal mengejek mereka berdua memang sangat kompak. Hah, dasar ayah dan anak sama saja.

3 komentar: