“Alhamdulillah,
semua pekerjaan rumah hari ini beres” leguhku sambil mengusap keringat yang
menetes membasahi pelipisku. Melelahkan padahal tidak terlalu banyak pekerjaan
yang aku lakukan hari ini. Mungkin efek bawaan si kecil. Semenjak hamil aku tak
cukup mampu mengerjakan pekerjaan rumah sekaligus.
Ku
dudukkan tubuhku di kursi ruang tamu yang menghadap tepat ke kaca jendela yang
menghubungkannya dengan teras depan sambil menyesap teh hangat dan cemilan yang
telah aku sediakan sebelumnya sembari menunggu seseorang yang aku nantikan
kepulangannya sore ini. Kuusap perutku yang semakin membesar. Rasanya tak sabar
menantikannya hadir ke dunia. Seolah merespon kurasakan tendangan dari perutku
kuusap gerakan cepat yang membuat beberapa sisi perutku menonjol sampai
tonjolan itu tak nampak lagi, tapi aku masih bisa merasakan gerakannya. Menyenangkan
rasanya dapat merasakan gerakannya yang lincah didalam perutku.
“Bunda sedang menunggu ayah datang ? ” suara serak Amira putri pertamaku yang baru bangun tidur. Aku segera menoleh cepat mencari sumber suara itu.
“Sayang sudah bangun. Sini duduk disebelah Bunda.”
Dengan
gesit Amira melompat naik dan duduk di kursi sebelahku. Dan dengan cepat tangan
mungilnya ikut mengelus perutku.
“Adik ayo cepat kelual bial bisa main sama kakak.” celotehnya dengan bahasa cadel khasnya. Amira baru berumur 4 tahun. Aku tersenyum mendengar celotehnya sore ini.
Deru suara motor yang sudah sangat aku hafal memenuhi gendang telingaku. Dia pulang.
“Ayah
pulang.” Seru Amira. Ia segera melompat turun dari kursi dan berlari menuju
sumber suara itu.
“Hati-hati
sayang nanti jatuh.” seruku memperingatkan.
Aku
memperhatikan mereka dari balik kaca jendela. Setelah memasukkan motor kedalam
bagasi Dia menggendong Amira dan
mendengar celotehannya dengan senyum mengembang. Bahagia sekali rasanya melihat
hal itu. Melihat senyumannya dan Amira dua orang yang sangat aku sayangi dan
akan bertambah satu lagi yang ada di dalam perut ini.
“Assalamualaikum.”
serunya dan Amira bersamaan saat memasuki pintu depan rumah kami.
“Wa alaikumsalam.”
seruku dengan susah payah berusaha berdiri dari kursi. Dia memperhatikan aku dan menurunkan Amira dari gendongannya.
Dengan gerakan cepat Dia menghampiriku
berusaha untuk membantuku berdiri.
“Aku
bisa sendiri kok.” tukasku
“Dasar
keras kepala.” ucapnya sambil tersenyum
Dia
memperhatikan aku sampai akhirnya aku mampu berdiri tegak.
“Berat
ya ?” tanyanya.
“hah
? apa ?” tanyaku tak mengerti.
“ini.”
ucapnya sambil mengelus perutku.
“Setidaknya
tidak seberat kamu.” jawabku ketus. Dia tertawa
sembari mengusap pucuk kepalaku.
“Memangnya
jika aku mengatakan ini berat, kamu bisa menggantikannya ?” sambungku.
“Jika
memang bisa akan aku gantikan.” ujarnya sambil tersenyum tulus.
“Dasar.”
ujarku berseloroh sambil tertawa. Dia mengacak
rambutku singkat.
Aku
memegang tangannya dan menciumnya.
“Selamat datang dirumah Ayah.” ucapku tulus. Dia tersenyum menatapku penuh arti sebelum akhirnya masuk kedalam rumah yang diikuti oleh Amira dan aku.
“Selamat datang dirumah Ayah.” ucapku tulus. Dia tersenyum menatapku penuh arti sebelum akhirnya masuk kedalam rumah yang diikuti oleh Amira dan aku.
“Ayah,
dari tadi Bunda nunggu ayah di luang tamu.” ucap Amira polos.
“Benarkah
? mungkin Bunda rindu dengan Ayah.” ujarnya sambil tertawa renyah.
Wajahku
seketika memanas. Mungkin sudah semerah tomat. Soal mengejek mereka berdua
memang sangat kompak. Hah, dasar ayah dan anak sama saja.
subhanallah sayang. ak jdi terharu. harapan. dunganono ae 😁
BalasHapusini hasil imajinasi bray, jgn salah paham :D
BalasHapushmm,, lanjutin dong!
BalasHapus