Aku meneguk minuman dingin dari
botol hingga habis. Segar sekali rasanya. Panas dalam hatiku yang semula
membara seolah membakar hati ini, perlahan meredup bahkan mati. Entah ada apa
dengan diriku aku pun tak mengerti. Semua berawal karena melihat mereka. Ya,
Mas Andi dan Mei saling bertatapan dan berbicara. Membicarakan topik yang hanya
mereka yang mengerti. Hah, rasanya tak tahan aku melihatnya. Ditambah lagi
harus mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Mei dengan nada manjanya itu.
Ingin rasanya aku sumpal mulutnya itu dengan kertas gagal print yang menggunung
disisi kananku saat ini. Beruntung otak warasku ini masih berfungsi dengan
normal sehingga aku tak perlu melakukan hal gila seperti itu.
“Ah,
Pokoknya aku nggak mau. Mas aja yang bawa.”
Suara
Mei yang terdengar kembali di telingaku.
“Begini
dek, Mas nitip uang ini ke kamu saja ya. Soalnya besok Mas Andi nggak bisa
kesini. Ada urusan.”
“Pokoknya
nggak mau, Mas berikan langsung saja ke Mbak Kiki.”
Mei
berujar kembali dengan nada manja yang memuakkan.
Aku
membuang napas malas mendengarkan perdebatan mereka yang tak bermutu itu.
Tiba-tiba Diani sahabatku mencubit tanganku. Sontak aku menoleh padanya dengan
mata melotot.
“APA?”
kataku dengan suara lantang.
Semua
yang ada dalam ruangan itu terkejut termasuk Mas Andi dan Mei yang sejak tadi
berdebat tanpa henti langsung bungkam dan menatap kearah kami berdua.
Diani
meringis menatap semua orang yang menatap kami.
“Maaf,
Maaf.” Ujarnya.
Aku
sendiri hanya menatap mereka acuh. Dengan secepat kilat Diani menatapku
menggerakkan bola matanya seolah mengisyaratkan padaku untuk keluar ruangan.
Aku menanggapinya dengan gelengan kepala. Tanpa persetujuan dariku Diani langsung
menyeret tanganku keluar ruangan.
“Ada
apa sih Di ?”
“Aku
merhatiin kamu lo Na, dari tadi.”
“Terus?”
“Sekarang
kamu jujur deh sama aku. Kamu cemburu kan ?”
“Cemburu
? maksudnya ? sama siapa ? jangan ngaco deh.”
“Mas
Andi dan Mei.”
“Diani
sejak awal kan aku sudah pernah bilang hanya KAGUM, Ingat KAGUM. Oke”
Aku
menepuk jidatnya.
“Awwww”
Diani mengerang keras.
“Kirana
sayang jujur sajalah padaku, Aku melihatnya. Melihat kobaran api kecemburuan
yang tercetak jelas di matamu itu.”
Diani
mengeluarkan bahasa puitisnya.
“Halah.”
Aku mengibaskan tanganku di depan matanya dan ngeloyor pergi.
Tak
kuhiraukan teriakan-teriakan Diani yang memanggil namaku. Disaat seperti ini
mungkin hal yang paling tepat untuk dilakukan adalah makan. Daripada harus
kembali ke dalam ruangan itu. Dan harus melihat pemandangan yang tak indah sama
sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar