“Na,
na liat deh sini cepetan!”. Diani memanggilku tidak, lebih tepatnya berteriak
dari arah ruang tengah. Aku beranjak dari kursi meninggalkan kegiatan yang
sangat aku sukai dan hanya melongokkan kepalaku di pintu kamar memperhatikan
Diani.
“Ada
apa sih Di, heboh banget ? ”.
Diani
menyeretku tepat di depan TV 21 inchi yang hanya ada satu di dalam rumah
kontarakan kami ini.
“Tuh,
liat deh cara nembak ceweknya romantis banget kan? Oh, ya ampun Lee Minho aku
mencintaimu.” Ujarnya sambil melompat-lompat mirip anak anjing.
Aku
hanya menatap datar ke arah benda persegi empat tersebut sambil tertawa ah,
tidak mungkin lebih tepatnya meringis. Diani langsung menggeplak bagian
belakang kepalaku.
“Aduhhhh,
sakit Di. Ngapain sih mukul.” jeritku
“Lagian
kamu itu ya liat adegan romantis malah ekspresimu kayak orang nahan sembelit
gitu. Jelek banget tahu! Na, dimana-mana kalo liat adegan romantis kayak gini
itu ekspesinya senyum-senyum sendiri. Kamu enggak malah meringis kayak orang
nahan sembelit.”
“Lho
aku ketawa Di. Wajahku kan emang begini.”
“Ngeless
terusss.”
“Jadi
kamu teriak manggil aku cuma mau ngasih tau ini aja. iya ? ”
“Iya
Na, kenapa? Aku ganggu kegiatanmu nulis DIARY mu itu ya? ” selorohnya penuh
penekanan.
“Iya
Di, ganggu banget tau!” jawabku.
“Kirana
sayang. Kamu itu kuno banget sih sekarang itu jaman globalisasi, jaman maju.
Media sosial udah banyak facebook,twitter,path,bbm,line ada tinggal curhat deh
di situ banyak yang ngerespon dan pasti banyak yang ngasih masukan. Enak bisa
sharing lagi. Eh, kamu malah masih aja betah nulis di DIARY kayak gitu. Kirana
ini bukan jaman dimana kita masih nulis-nulis surat buat sahabat pena ya.”
Diani menceramahiku
“Diana
sahabatku tersayang. Kan nggak semua masalah itu harus di umbar di media
sosial. Itu sama saja membuka aib sendiri. Apa nggak malu kalo banyak orang
yang tau? Kalo aku pasti malu, Di. Bukankah Masalahmu itu seperti Auratmu bukan
untuk di umbar dan dijadikan konsumsi Publik.” Jelasku.
“Hah,
iya deh bu ustadzah. Tapi kan seenggaknya ada yang ngasih masukan Na. Kalo Cuma
kamu tulis di Diary kan nggak ada yang ngasih saran? ”
“Di,
Aku nulis Diary ini hanya untuk masalah-masalah yang nggak harus semua orang
tahu. Kalo emang aku butuh masukan atau saran kan aku bisa curhat ke kamu.”
“Iya
juga sih. Udah Na disini aja dulu temenin aku nonton TV.” Ucapnya memohon
“Iya
deh. Aku temenin.”
Dan
kami berdua pun fokus menonton TV yang menayangkan serial Drama Korea favorit
Diani di ruang tengah. Drama yang membuat para penontonnya terhipnotis dan
membayangkan kisah romantis.
“Mungkin
kata-kata romantis versimu seperti ini Na ‘Kau tak perlu membutuhkan buku Diary
lagi. Karena aku yang akan menjadi Diary mu, Aku siap menampung setiap keluh
kesahmu dan siap menyelesaikan masalah bersamamu’ seperti itu kan.” Diani tiba-tiba
berujar.
“Hahahaha
iya Di. Mungkin. Bisa jadi, Bisa jadi.”
“Kok
Bisa jadi sih, Pasti dong Pasti.”
Malam
itu pun kami berdebat tanpa henti membahas kata-kata romantis versiku. Dan hal
itu sukses membuat perutku sakit akibat terlalu banyak tertawa karena kekonyolan
Diani.