Kamis, 30 Juli 2015

DIARY


 
“Na, na liat deh sini cepetan!”. Diani memanggilku tidak, lebih tepatnya berteriak dari arah ruang tengah. Aku beranjak dari kursi meninggalkan kegiatan yang sangat aku sukai dan hanya melongokkan kepalaku di pintu kamar memperhatikan Diani.
“Ada apa sih Di, heboh banget ? ”.

Diani menyeretku tepat di depan TV 21 inchi yang hanya ada satu di dalam rumah kontarakan kami ini.
 “Tuh, liat deh cara nembak ceweknya romantis banget kan? Oh, ya ampun Lee Minho aku mencintaimu.” Ujarnya sambil melompat-lompat mirip anak anjing.

Aku hanya menatap datar ke arah benda persegi empat tersebut sambil tertawa ah, tidak mungkin lebih tepatnya meringis. Diani langsung menggeplak bagian belakang kepalaku.
“Aduhhhh, sakit Di. Ngapain sih mukul.” jeritku
“Lagian kamu itu ya liat adegan romantis malah ekspresimu kayak orang nahan sembelit gitu. Jelek banget tahu! Na, dimana-mana kalo liat adegan romantis kayak gini itu ekspesinya senyum-senyum sendiri. Kamu enggak malah meringis kayak orang nahan sembelit.”
“Lho aku ketawa Di. Wajahku kan emang begini.”
“Ngeless terusss.”
“Jadi kamu teriak manggil aku cuma mau ngasih tau ini aja. iya ? ”
“Iya Na, kenapa? Aku ganggu kegiatanmu nulis DIARY mu itu ya? ” selorohnya penuh penekanan.
“Iya Di, ganggu banget tau!” jawabku.
“Kirana sayang. Kamu itu kuno banget sih sekarang itu jaman globalisasi, jaman maju. Media sosial udah banyak facebook,twitter,path,bbm,line ada tinggal curhat deh di situ banyak yang ngerespon dan pasti banyak yang ngasih masukan. Enak bisa sharing lagi. Eh, kamu malah masih aja betah nulis di DIARY kayak gitu. Kirana ini bukan jaman dimana kita masih nulis-nulis surat buat sahabat pena ya.” Diani menceramahiku
“Diana sahabatku tersayang. Kan nggak semua masalah itu harus di umbar di media sosial. Itu sama saja membuka aib sendiri. Apa nggak malu kalo banyak orang yang tau? Kalo aku pasti malu, Di. Bukankah Masalahmu itu seperti Auratmu bukan untuk di umbar dan dijadikan konsumsi Publik.” Jelasku.
“Hah, iya deh bu ustadzah. Tapi kan seenggaknya ada yang ngasih masukan Na. Kalo Cuma kamu tulis di Diary kan nggak ada yang ngasih saran? ”
“Di, Aku nulis Diary ini hanya untuk masalah-masalah yang nggak harus semua orang tahu. Kalo emang aku butuh masukan atau saran kan aku bisa curhat ke kamu.”
“Iya juga sih. Udah Na disini aja dulu temenin aku nonton TV.” Ucapnya memohon
“Iya deh. Aku temenin.”

Dan kami berdua pun fokus menonton TV yang menayangkan serial Drama Korea favorit Diani di ruang tengah. Drama yang membuat para penontonnya terhipnotis dan membayangkan kisah romantis.
“Mungkin kata-kata romantis versimu seperti ini Na ‘Kau tak perlu membutuhkan buku Diary lagi. Karena aku yang akan menjadi Diary mu, Aku siap menampung setiap keluh kesahmu dan siap menyelesaikan masalah bersamamu’ seperti itu kan.” Diani tiba-tiba berujar.
“Hahahaha iya Di. Mungkin. Bisa jadi, Bisa jadi.”
“Kok Bisa jadi sih, Pasti dong Pasti.”
Malam itu pun kami berdebat tanpa henti membahas kata-kata romantis versiku. Dan hal itu sukses membuat perutku sakit akibat terlalu banyak tertawa karena kekonyolan Diani.

Jumat, 03 Juli 2015

CEMBURU ?



             


      Aku meneguk minuman dingin dari botol hingga habis. Segar sekali rasanya. Panas dalam hatiku yang semula membara seolah membakar hati ini, perlahan meredup bahkan mati. Entah ada apa dengan diriku aku pun tak mengerti. Semua berawal karena melihat mereka. Ya, Mas Andi dan Mei saling bertatapan dan berbicara. Membicarakan topik yang hanya mereka yang mengerti. Hah, rasanya tak tahan aku melihatnya. Ditambah lagi harus mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Mei dengan nada manjanya itu. Ingin rasanya aku sumpal mulutnya itu dengan kertas gagal print yang menggunung disisi kananku saat ini. Beruntung otak warasku ini masih berfungsi dengan normal sehingga aku tak perlu melakukan hal gila seperti itu.
“Ah, Pokoknya aku nggak mau. Mas aja yang bawa.”
Suara Mei yang terdengar kembali di telingaku.
“Begini dek, Mas nitip uang ini ke kamu saja ya. Soalnya besok Mas Andi nggak bisa kesini. Ada urusan.”
“Pokoknya nggak mau, Mas berikan langsung saja ke Mbak Kiki.”
Mei berujar kembali dengan nada manja yang memuakkan.
Aku membuang napas malas mendengarkan perdebatan mereka yang tak bermutu itu. Tiba-tiba Diani sahabatku mencubit tanganku. Sontak aku menoleh padanya dengan mata melotot.
“APA?” kataku dengan suara lantang.
Semua yang ada dalam ruangan itu terkejut termasuk Mas Andi dan Mei yang sejak tadi berdebat tanpa henti langsung bungkam dan menatap kearah kami berdua.
Diani meringis menatap semua orang yang menatap kami.
“Maaf, Maaf.” Ujarnya.
Aku sendiri hanya menatap mereka acuh. Dengan secepat kilat Diani menatapku menggerakkan bola matanya seolah mengisyaratkan padaku untuk keluar ruangan. Aku menanggapinya dengan gelengan kepala. Tanpa persetujuan dariku Diani langsung menyeret tanganku keluar ruangan.

“Ada apa sih Di ?”
“Aku merhatiin kamu lo Na, dari tadi.”
“Terus?”
“Sekarang kamu jujur deh sama aku. Kamu cemburu kan ?”
“Cemburu ? maksudnya ? sama siapa ? jangan ngaco deh.”
“Mas Andi dan Mei.”
“Diani sejak awal kan aku sudah pernah bilang hanya KAGUM, Ingat KAGUM. Oke”
Aku menepuk jidatnya.
“Awwww” Diani mengerang keras.
“Kirana sayang jujur sajalah padaku, Aku melihatnya. Melihat kobaran api kecemburuan yang tercetak jelas di matamu itu.”
Diani mengeluarkan bahasa puitisnya.
“Halah.” Aku mengibaskan tanganku di depan matanya dan ngeloyor pergi.
Tak kuhiraukan teriakan-teriakan Diani yang memanggil namaku. Disaat seperti ini mungkin hal yang paling tepat untuk dilakukan adalah makan. Daripada harus kembali ke dalam ruangan itu. Dan harus melihat pemandangan yang tak indah sama sekali.