Senin, 02 November 2020

Bintang yang istimewa

 

Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah di tahun ajaran baru. Dan hari ini pula untuk pertama kalinya aku menjadi wali kelas satu. Tiga hari pertama ini kelas satu melakukan MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah). Aku mengajar kelas 1B yang berjumlah 29 siswa. Di hari pertama pengenalan ini aku memperkenalkan diri di depan anak-anak berwajah polos dan lucu ini. Kulihat wajah mereka masih takut karena baru pertama kali masuk Sekolah Dasar.

“Selamat pagi anak-anak. Perkenalkan saya bu Dina.” sapaku kepada mereka. Kuajak mereka bernyanyi bersama , memperkenalkan diri di depan kelas dan melakukan permainan bersama. Setelah melakukan berbagai macam kegiatan. Kuperhatikan wajah mereka yang awalnya takut sudah mulai mencair dan berani unjuk gigi. Ketika semua anak sedang asik mendengarkan ceritaku tentang sekolah ini tiba-tiba ada salah satu anak lelaki bertubuh kecil yang duduk paling depan berkata:

“Bu, kapan istirahat? Aku lapar.” tanyanya

“Sabar ya nak istirahatnya sebentar lagi, sekarang kan sudah kelas 1 jadi istirahatnya berbeda dengan ketika masih di sekolah TK”. jawabku sambil tersenyum.

Kulihat dia mulai cemberut.

“Bintang tadi pagi belum sarapan ya ?” tanyaku.

“Belum bu, ibuku nggak masak.” jawabnya.

Kuajak semua anak melakukan permainan ringan. Kulihat jam menunjukkan pukul 08.20 wib. Hmm kurang 10 menit lagi istirahat. Tiba-tiba anak yang duduk disebelah Bintang berkata

“Bu guru Bintang makan bu, jajannya ditaruh bawah meja.”

Kuhampiri mejanya dan ku cek bawah mejanya ternyata dia menyembunyikan banyak makanan disana. Dia hanya nyengir dengan wajah polosnya. Bersamaan dengan itu bel istirahat berbunyi. Anak-anak yang lain beristirahat dihalaman sekolah. Aku mendekati Bintang dan menasehatinya agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Ia menggangguk-angguk tanda mengerti. Setelah istirahat anak-anak masuk kelas dan melanjutkan MPLS kembali.

          Tak terasa bel pulang berbunyi kuajak anak-anak berdoa kemudian mereka berbaris untuk bersalaman pulang. Ketika kelas mulai sepi salah satu wali murid mengampiriku. Beliau adalah mama Bintang.

“Ada apa ma?”. tanyaku

“Maaf bu sebelumnya saya ingin memberitahu mungkin nanti setiap bulan Bintang akan sering tidak masuk karena harus cuci darah bu. Anak saya memiliki penyakit kanker darah.” katanya

Aku terkejut anak sekecil ini sudah merasakan penyakit ini. Aku hanya bisa menggangguk.

Di hari-hari berikutnya aku mulai memahami karakter setiap murid dikelasku ini, tidak terkecuali Bintang. Aku mulai memahami sifatnya yang hiperaktif, temperamental dan jail. Banyak temannya yang mulai terganggu oleh sikapnya dan mulai menjauhinya. Ada beberapa kejadian yang sangat menarik.

Hari itu cuaca lumayan cerah. Ada salah satu anak bernama Chika membawa air minum dingin dari rumah. Chika adalah teman sebangku Bintang. Bintang meminta air minumnya. Chika memberinya. Tetapi hal diluar perkiraan terjadi. Bintang menghabiskan semua minuman dingin dalam botol itu dan menyebabkan Chika menangis karena belum sempat meminumnya. Kutegur Bintang kala itu , tapi ia malah mengamuk. Dia merasa tidak bersalah, karena merasa telah ijin meminta pada Chika. Bersamaan dengan itu bel istirahat berbunyi anak-anak yang lain kuperintahkan untuk istirahat kecuali Bintang. Kutunggu amarahnya mereda. Setelah mulai reda aku mulai menanyakan kepadanya dengan lembut.

“Bintang kenapa menghabiskan minuman yang dibawa Chika?”. tanyaku

“Aku haus bu. Kan pengen minum. Masak minta gak boleh kan aku sudah ijin.” jawabnya sambil cemberut.

“Boleh kok Bintang minta air minum Chika atau teman yang lainnya, tapi kalau minta jangan dihabiskan ya kasian temannya kan belum minum.” jelasku

“Bu guru nggak tau aku itu pengen minum air dingin soalnya dirumahku itu gak ada kulkas!”.

Aku yang mendengar alasannya menahan tawaku. Ya allah anak ini sebenarnya setiap melakukan sesuatu selalu ada maksud bukan hanya sekedar iseng. Kutenangkan dia, dan kuperbolehkan dia untuk istirahat.

Sebelum bel masuk berbunyi Bintang membawa makanan dan mendekatiku yang kala itu mengisi buku penghubung. Dia berkata.

“Bu Dina, besok loh ibuku beli kulkas.” celetuknya.

“Loh iya ta? Wah enak setelah ini Bintang minum air dingin terus dong.” jawabku

“Iya bu. Ibuku hutang di toko Hartono.” jawabnya dengan muka polos.

“Bintang kok tau kata hutang darimana ?” tanyaku.

“Kan Ibuku cerita terus aku nguping.” jawabnya sambil berlalu.

Aku menahan tawa antara miris dan lucu. Lucu karena kata-katanya yang polos dan miris karena anak sekecil ini sudah mengetahui istilah hutang.

Di hari berikutnya ada kejadian yang juga menarik yang dilakukannya.

Hari itu aku menjelaskan tentang penjumlahan. Semua anak mendengarkan penjelasan dengan seksama. Setelah mendengarkan penjelasan dariku. Aku mulai mengajak mereka berhitung bersama. Alhamdulillah mereka semua paham dan aku mulai memberikan latihan soal. Anak-anak mengerjakan dengan sungguh-sungguh. Setelah beberapa menit mereka yang sudah mengerjakan menghampiri mejaku untuk kukoreksi jawabannya dan mendapatkan nilai. Setelah semua mendapatkan nilai, anak-anak kembali ketempat duduknya masing-masing. Sebelum melanjutkan materi kuajak mereka Ice Breaking agar tidak jenuh. Kemudian lanjut ke materi lainnya. Ketika akan memulai pembelajaran kembali Nanda salah satu anak merengek. Dia mengatakan pensilnya hilang.,

“Bu pensilku hilang bu.” rengeknya

Kuhampiri mejanya dan ku cek tempat pensil, tas dan mejanya termasuk dibawah meja ternyata nihil.

“Tadi ditaruh mana Nanda?” tanyaku

“Tak taruh meja bu.” jawabnya

“Sebentar ya ibu coba tanyakan teman-teman yang lain”. kataku menenangkannya.

Aku berdiri ke depan kelas dan menanyakannya kepada anak-anak yang lain.

“Siapa yang menemukan pensilnya Nanda ? Warnanya oranye dikembalikan ya anak-anak jika menemukan.”

Sayangnya tidak ada yang menjawab. Akhirnya teman sebangku Nanda meminjaminya pensil. Ketika semua mulai menulis tak berapa lama salah satu anak yang duduk disebelah Bintang berteriak.

“Bu guru, Bintang yang ambil pensilnya Nanda ini warnanya oranye. Tadi Bintang gak pakek pensil ini.” selorohnya

Seiring dengan perkataan anak tersebut,  anak yang lain mulai ribut dan mendekati Bintang sambil mengejek. Bintang mulai mengamuk. Aku langsung menenangkan anak yang lain dan kuperintahkan untuk duduk dimeja masing-masing. Kuhampiri meja Bintang yang wajahnya mulai merah padam tanda amarahnya sudah dipuncak. Dia berteriak.

“Aku bukan pencuri!. Aku loh nemu dibawah meja !.” katanya dengan nada tinggi.

“Sudah Bintang tidak boleh marah-marah ya.” Kataku menenangkan.

“Coba dijelaskan ke Ibu tadi bagaimana Bintang nemu pensilnya.” Tanyaku sambil mengelus kepalanya. Anak yang lain mendengarkan.

“Tadi kan waktu aku ke bu guru buat minta nilai aku liat pensil dilantai ya tak kira nggak ada yang punya terus aku ambil.” jawabnya.

“Begini ya nak. Ini bukan hanya untuk Bintang tapi juga semuanya. Jika menemukan benda apapun dilantai langsung diberikan Bu Dina ya. Takutnya itu punyanya temannya. Nanti kasian temannya cari-cari barangnya tapi nggak ketemu. Paham ya anak-anak.” Semua anak mengangguk-angguk tanda mengerti tak terkecuali Bintang.

Semenjak kejadian itu setiap menemukan benda apapun Bintang dan anak-anak yang lain selalu memberikannya padaku. Dan aku akan mengkonfirmasi benda milik siapa didepan kelas. Sehingga kejadian seperti sebelumnya tidak terjadi lagi.

          Ada salah satu kejadian yang sangat aku ingat. Kala itu aku duduk didepan kelas sambil memperhatikan anak-anak beristirahat. Bintang tiba-tiba duduk disampingku sambil minum es. Kucoba mengajaknya mengobrol.

“Bintang kemarin kenapa kok nggak masuk? Belum ijin Bu Dina loh.” tanyaku

“Loh bu guru nggak tau ta? Aku ini kemarin 2 hari habis cuci darah.” jawabnya

“Cuci darah dimana ?” tanyaku coba menelisik.

“Di Rumah Sakit bu, Aku loh hari pertama antri daftar buat liat kantong darahnya apa ada. Terus hari kedua baru transfusinya.” jawabnya dengan santai.

“Bintang golongan darahnya apa ?” tanyaku.

“B Rhesus negatif.” jawabnya

“Bintang sakit sejak kelas berapa?”. tanyaku kembali.

“Dari sebelum sekolah sudah sakit bu. Aku loh bu kalau lupa belum transfusi badanku lemes sampai gak bisa jalan harus pakek kursi roda”. jawabnya.

Aku terkejut. Anak sekecil ini sudah merasakan sakit seperti ini. Jika dilihat secara kasat mata dia memang terlihat baik dan sehat. Ditambah sikapnya yang tidak bisa diam dikelas selalu berkeliling tanpa henti, jail layaknya anak sehat yang lain.

Dari pengalaman mengajar ini aku belajar banyak hal. Pertama, harus memiliki ilmu sabar. Sabar menghadapi sikap anak-anak yang beraneka ragam. Yang kedua telaten menghadapi mereka. Ketiga memberikan contoh yang baik karena anak adalah peniru ulung. Apapun yang kita lakukan akan ditirunya. Tidak hanya guru, orangtua pun juga sama memiliki andil yang cukup besar dalam proses penanaman sikap pada anak sejak dini. Keempat disiplin karena kita adalah contoh bagi mereka. Dan yang Kelima, mendoakan mereka agar menjadi anak yang sholeh-sholehah, serta segala cita-cita mereka tercapai. Semoga kita semua menjadi pribadi yang bijak dan baik dalam bersikap. 


Kamis, 30 Juli 2015

DIARY


 
“Na, na liat deh sini cepetan!”. Diani memanggilku tidak, lebih tepatnya berteriak dari arah ruang tengah. Aku beranjak dari kursi meninggalkan kegiatan yang sangat aku sukai dan hanya melongokkan kepalaku di pintu kamar memperhatikan Diani.
“Ada apa sih Di, heboh banget ? ”.

Diani menyeretku tepat di depan TV 21 inchi yang hanya ada satu di dalam rumah kontarakan kami ini.
 “Tuh, liat deh cara nembak ceweknya romantis banget kan? Oh, ya ampun Lee Minho aku mencintaimu.” Ujarnya sambil melompat-lompat mirip anak anjing.

Aku hanya menatap datar ke arah benda persegi empat tersebut sambil tertawa ah, tidak mungkin lebih tepatnya meringis. Diani langsung menggeplak bagian belakang kepalaku.
“Aduhhhh, sakit Di. Ngapain sih mukul.” jeritku
“Lagian kamu itu ya liat adegan romantis malah ekspresimu kayak orang nahan sembelit gitu. Jelek banget tahu! Na, dimana-mana kalo liat adegan romantis kayak gini itu ekspesinya senyum-senyum sendiri. Kamu enggak malah meringis kayak orang nahan sembelit.”
“Lho aku ketawa Di. Wajahku kan emang begini.”
“Ngeless terusss.”
“Jadi kamu teriak manggil aku cuma mau ngasih tau ini aja. iya ? ”
“Iya Na, kenapa? Aku ganggu kegiatanmu nulis DIARY mu itu ya? ” selorohnya penuh penekanan.
“Iya Di, ganggu banget tau!” jawabku.
“Kirana sayang. Kamu itu kuno banget sih sekarang itu jaman globalisasi, jaman maju. Media sosial udah banyak facebook,twitter,path,bbm,line ada tinggal curhat deh di situ banyak yang ngerespon dan pasti banyak yang ngasih masukan. Enak bisa sharing lagi. Eh, kamu malah masih aja betah nulis di DIARY kayak gitu. Kirana ini bukan jaman dimana kita masih nulis-nulis surat buat sahabat pena ya.” Diani menceramahiku
“Diana sahabatku tersayang. Kan nggak semua masalah itu harus di umbar di media sosial. Itu sama saja membuka aib sendiri. Apa nggak malu kalo banyak orang yang tau? Kalo aku pasti malu, Di. Bukankah Masalahmu itu seperti Auratmu bukan untuk di umbar dan dijadikan konsumsi Publik.” Jelasku.
“Hah, iya deh bu ustadzah. Tapi kan seenggaknya ada yang ngasih masukan Na. Kalo Cuma kamu tulis di Diary kan nggak ada yang ngasih saran? ”
“Di, Aku nulis Diary ini hanya untuk masalah-masalah yang nggak harus semua orang tahu. Kalo emang aku butuh masukan atau saran kan aku bisa curhat ke kamu.”
“Iya juga sih. Udah Na disini aja dulu temenin aku nonton TV.” Ucapnya memohon
“Iya deh. Aku temenin.”

Dan kami berdua pun fokus menonton TV yang menayangkan serial Drama Korea favorit Diani di ruang tengah. Drama yang membuat para penontonnya terhipnotis dan membayangkan kisah romantis.
“Mungkin kata-kata romantis versimu seperti ini Na ‘Kau tak perlu membutuhkan buku Diary lagi. Karena aku yang akan menjadi Diary mu, Aku siap menampung setiap keluh kesahmu dan siap menyelesaikan masalah bersamamu’ seperti itu kan.” Diani tiba-tiba berujar.
“Hahahaha iya Di. Mungkin. Bisa jadi, Bisa jadi.”
“Kok Bisa jadi sih, Pasti dong Pasti.”
Malam itu pun kami berdebat tanpa henti membahas kata-kata romantis versiku. Dan hal itu sukses membuat perutku sakit akibat terlalu banyak tertawa karena kekonyolan Diani.